Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tes Tanpa Pengawas, Mungkinkah?

Sumber: https://www.top-news.id/


Coba bayangkan sebuah ruang ujian. Tidak ada pengawas berdiri di depan kelas. Tidak ada tatapan curiga yang sesekali menyapu ke meja siswa. Semua hanya duduk tenang, membuka lembar soal, lalu mengerjakan dengan serius. Tidak ada bisik-bisik, tidak ada saling melirik. Suasana hening, tapi bukan karena takut, melainkan karena kesadaran: jujur itu lebih mulia daripada sekadar nilai tinggi.

Pertanyaannya, mungkinkah suasana seperti itu benar-benar terjadi?

Mengapa Selalu Ada Pengawas?
Sejak lama, ujian di sekolah kita identik dengan “pengawasan”. Seolah-olah siswa baru bisa dipercaya kalau ada mata yang mengawasi. Padahal, bila ditelaah lebih dalam, kebutuhan akan pengawas lahir dari rasa kurang percaya—baik dari sekolah kepada siswa, maupun dari sistem kepada sekolah.

Faktanya, saat Ujian Nasional dulu masih ada, banyak cerita soal bocornya jawaban, jual-beli kunci, hingga kerja sama “diam-diam” di ruang kelas. Ketika Ujian Nasional dihapus, masalah lain muncul: markup nilai. Nilai rapor yang seharusnya mencerminkan proses belajar justru kadang dimanipulasi, demi lolos seleksi perguruan tinggi.

Di titik ini, kita sadar bahwa masalahnya bukan semata ada atau tidaknya pengawas, tetapi lebih pada budaya integritas dalam pendidikan kita.

Mengapa Siswa Bisa Curang?
Secara psikologis, kecurangan biasanya lahir dari tiga hal:
  • Tekanan – merasa harus dapat nilai tinggi, takut mengecewakan orang tua, atau khawatir gagal masuk perguruan tinggi.
  • Peluang – ada celah untuk menyontek tanpa ketahuan.
  • Rasionalisasi – “Ah, semua juga melakukannya” atau “soalnya susah, wajar kalau cari jalan pintas.”
Jika tiga faktor ini bertemu, kecurangan hampir pasti muncul. Maka, untuk bisa punya tes tanpa pengawas, ketiga faktor ini harus kita ubah menjadi: motivasi intrinsik, desain ujian yang adil, dan budaya jujur.

Apa yang Harus Dibenahi?
Ada beberapa hal mendasar yang perlu kita perbaiki sebelum bicara ujian tanpa pengawas:

1. Desain Asesmen yang Tepat
Selama soal hanya menuntut hafalan, maka kunci jawaban akan mudah dijual. Sebaliknya, jika soal menuntut pemikiran, analisis, atau solusi kreatif, kecurangan jadi tidak berguna. Bayangkan soal Matematika dengan angka berbeda untuk tiap siswa, atau esai yang meminta pendapat pribadi berdasarkan kasus nyata—semua akan unik.

2. Budaya Integritas
Kejujuran harus menjadi kebiasaan, bukan hanya slogan. Sekolah bisa mulai dengan sumpah integritas sebelum ujian, penghargaan untuk siswa jujur, serta pembiasaan diskusi terbuka bahwa nilai tinggi tanpa kejujuran sama saja dengan menipu diri sendiri.

3. Moderasi Nilai
Untuk mengatasi ketidakpercayaan perguruan tinggi akibat markup nilai, kita butuh sistem yang memverifikasi. Misalnya, setiap sekolah mengerjakan sebagian soal standar nasional, lalu hasilnya dibandingkan dengan nilai rapor. Kalau ada sekolah yang nilainya jauh “melompat”, bisa segera dikaji ulang.

4. Teknologi & Transparansi
Kita bisa menggunakan portofolio digital, rekam jejak pengerjaan, atau bahkan wawancara singkat (viva) secara acak. Dengan begitu, nilai bukan sekadar angka mati, tapi punya bukti proses di belakangnya.

Jadi, Mungkinkah Tanpa Pengawas?
Jawabannya: mungkin—tapi bertahap.

Untuk ulangan harian, tugas, atau latihan, sebenarnya sudah bisa tanpa pengawas. Bahkan justru bagus, karena melatih siswa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Namun untuk ujian penting seperti kelulusan atau seleksi masuk perguruan tinggi, kita masih perlu mekanisme verifikasi. Jika hal-hal ini sudah berjalan konsisten, barulah budaya jujur bisa tumbuh, dan suatu hari nanti pengawas ujian mungkin benar-benar tidak lagi diperlukan.

Menuju Generasi yang Tidak Perlu Diawasi
Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga soal karakter. Kita ingin melahirkan generasi yang bisa dipercaya, bahkan ketika tidak ada mata yang mengawasi.

Tes tanpa pengawas bukan sekadar mimpi. Ia bisa menjadi kenyataan jika kita berani melakukan perubahan: dari ujian hafalan ke ujian penalaran, dari nilai semu ke nilai bermakna, dan dari budaya takut ke budaya percaya. 

Karena sejatinya, nilai tertinggi dalam pendidikan bukan angka di kertas, melainkan kejujuran yang melekat dalam diri.

Oleh: Mustahib, S.Pd.Si.

#banggajadiguru #gurubelajar #guruberkolaborasi #guruberbagi

Posting Komentar untuk "Tes Tanpa Pengawas, Mungkinkah?"