Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Bangkit dari Keterpurukan dengan Pola Resilien


Setiap orang pernah mengalami masa sulit: kegagalan, kehilangan, atau situasi hidup yang membuat hati seakan runtuh. Rasanya seperti terjebak dalam kegelapan tanpa jalan keluar. Pertanyaannya: bagaimana cara kita agar tidak terpuruk terlalu lama?

Jawabannya adalah resilien – kemampuan untuk bangkit kembali, seperti pohon yang tetap tumbuh meski diterpa badai. Resilien bukan berarti kita tidak pernah jatuh, tetapi kita bisa bangkit lebih kuat setelah jatuh.

Menariknya, ketangguhan ini bisa dibangun dengan memadukan ilmu psikologi, neurosains, dan ajaran Islam.

1. Belajar Menerima & Bertawakal

Langkah pertama untuk bangkit adalah menerima kenyataan. Dalam psikologi disebut acceptance: berhenti menghabiskan energi melawan hal yang memang sudah terjadi.

Secara neurosains, penerimaan membuat amigdala (pusat ketakutan di otak) lebih tenang, lalu bagian otak rasional bisa berpikir lebih jernih.
Dalam Islam, inilah hakikat tawakal: berusaha sekuat tenaga, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Praktik sederhana: Tulis 3 hal yang masih bisa Anda syukuri hari ini, meski kecil. Latihan ini menggeser fokus dari keterpurukan menuju peluang.

2. Menemukan Makna di Balik Ujian

Psikolog Viktor Frankl pernah berkata: “Manusia bisa bertahan menghadapi penderitaan jika ia menemukan makna.”
Otak kita pun bekerja demikian – saat ada makna, sistem motivasi di otak (dopamin) kembali menyala.

Islam mengajarkan bahwa setiap kesulitan selalu diiringi kemudahan (QS. Al-Insyirah: 6). Ujian bukan hukuman, melainkan cara Allah mendidik kita naik kelas.

Praktik sederhana: Renungkan pertanyaan ini, “Apa hikmah yang Allah ingin saya pelajari dari keadaan ini?” Tuliskan jawabannya di catatan pribadi.

3. Mengatur Emosi dengan Dzikir & Mindfulness

Saat terpuruk, emosi negatif sering memuncak. Jika tidak dikendalikan, stres bisa merusak tubuh dan pikiran.

Neurosains membuktikan: napas dalam, meditasi, atau dzikir mampu menurunkan hormon stres (kortisol) dan menenangkan otak emosional.
Islam pun menegaskan, “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Praktik sederhana: Coba dzikir napas. Tarik napas pelan sambil mengucap “Allah” dalam hati, lalu hembuskan dengan “Hu”. Lakukan 10 kali, rasakan ketenangan yang hadir.

4. Tidak Menyendiri, Bangun Dukungan Sosial

Dalam psikologi, dukungan sosial adalah salah satu kunci utama ketangguhan. Otak kita mengeluarkan hormon oksitosin ketika mendapat dukungan, membuat hati lebih hangat.

Bayangkan hewan di padang savana. Seekor zebra atau rusa yang terpisah dari kawanannya akan menjadi target empuk singa. Tetapi ketika mereka bergerombol, peluang untuk bertahan jauh lebih besar. Begitu pula manusia: saat sendirian dalam kesedihan, kita lebih rapuh dan mudah “diterkam” rasa putus asa. Namun ketika bersama sahabat yang mendukung, kita lebih aman dan kuat menghadapi badai hidup.

Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin bagi mukmin lain seperti satu tubuh; bila satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.”

Praktik sederhana: Jika sedang terpuruk, jangan simpan sendiri. Ceritakan pada sahabat baik, keluarga, atau komunitas yang positif.


5. Bergerak dengan Langkah Kecil

Bangkit dari keterpurukan sering terasa berat. Karena itu, mulailah dari langkah kecil. Setiap tindakan kecil memberi dorongan dopamin, membuat kita merasa berhasil.

Rasulullah SAW memberi teladan optimisme: “Jika kiamat datang sementara di tanganmu ada bibit kurma, maka tanamlah.” (HR. Ahmad).

Praktik sederhana: Buat target harian yang ringan, misalnya olahraga 10 menit, membaca satu halaman buku, atau membantu satu orang.

6. Merawat Tubuh, Menyuburkan Ruh

Kesehatan mental tidak bisa dipisahkan dari tubuh. Olahraga ringan, tidur cukup, dan makan sehat membuat otak lebih tangguh.
Neurosains menyebut aktivitas fisik menumbuhkan BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor) yang memperbaiki sel otak.

Dalam Islam, Rasulullah SAW mencontohkan keseimbangan hidup: cukup istirahat, tidak berlebihan dalam makan, dan menjaga kebersihan lahir batin.

Praktik sederhana: Terapkan pola 3S: Sleep cukup, Sport teratur, Spiritual konsisten.

Resilien bukan berarti hidup tanpa luka, melainkan mampu menjadikan luka sebagai guru. Dengan menerima kenyataan, menemukan makna, mengatur emosi dengan dzikir, mencari dukungan sosial, bergerak dengan langkah kecil, dan merawat tubuh serta ruh, insyaAllah kita bisa bangkit dari keterpurukan.

Bahkan lebih dari itu: kita tidak hanya sekadar bertahan (survive), tapi juga tumbuh (thrive) menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih dekat dengan Allah.

#banggajadiguru #gurubelajar #guruberkolaborasi #guruberbagi

Posting Komentar untuk "Bangkit dari Keterpurukan dengan Pola Resilien"